
Machu Pichhu a Inca's Town that have mystery inside it.


Berbagi pada sesama tidak harus dalam bentuk dana segar. Tidak hanya bisa menyumbang sembako. Tidak hanya menyumbang pakaian pantas pakai. Tidak hanya menyumbang masjid atau tempat ibadah.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah berbagi sesuatu yang memang kita miliki, seperti: BUKU. Dengan begitu, kita bisa membantu mereka yang membutuhkan untuk dapat membuka dunia, mendapat ilmu/pengetahuan baru.
Tidak punya buku yang bisa disumbangkan? Tidak apa-apa, kita tetap bisa membantu secara tak langsung. Salah satunya dengan menyebarkan informasi tentang Gerakan Kumpul 1000 buku ini, melalui sebuah postingan di blog seperti ini, melalui Friendster atau jaringan sosial lain, bahkan bisa juga dari mulut-ke-mulut.
Gerakan Kumpul 1000 Buku berawal dari para blogger yang nongkrong di BHI (bunderan hotel Indonesia). Kemudian muncullah ide bagaimana mengumpulkan buku-buku yang telah terbaca dan tidak diperlukan. Lahirlah “Gerakan Kumpul 1000 Buku”.
Gerakan ini juga didasari dari fakta di lapangan bahwa harga buku yang melambung, sedangkan daya beli masyarakat cukup rendah untuk belanja buku. Meskipun begitu, ada kalangan yang merupakan pecinta buku. Mereka yang termasuk kutubuku biasa menghabiskan waktu di toko buku dan belanja berbagai buku yang disuka. Akhirnya buku koleksi menjadi semakin banyak, bertumpuk dan kadang kekurangan tempat. Nah, bagi yang merasa kelebihan buku layak baca, ada baiknya menyumbangkannya kepada pihak yang membutuhkan. Gerakan Kumpul 1000 Buku ini berusaha untuk memfasilitasi permasalahan tersebut.
Langsung aja ke webnya KLIK DISINI
Segalanya bermula di metropolitan pekat polusi, Jakarta. Berawal dari The Motives pada 2001. Dan Edo Wallad berperan sebagai biduan. Selain rajin membawakan tembang-tembang klasik R&B dari grup semacam The Who, The Rolling Stones, Jimi Hendrix, pula Sex Pistols dan The Clash. Sepanjang 2002 mereka gunakan berlatih dan sesekali tampil memainkan karya sendiri. Sampai ketika pada fajar 2003 Edo pamit mundur. Lalu Eka Annash masuk mengambil alih. Tak lama kemudian band berganti nama menjadi The Brandals. Sementara jajaran personel di masing-masing departemen masih bertahan tak berubah: Rully Annash (saudara kandung Eka) pada drum, Bayu pada gitar utama, Tonny pada gitar pengiring, serta Doddy pada bas. Pada 2003 itu juga akhirnya The Brandals menggebrak skena musik Nusantara via album perdana THE BRANDALS. Resultan berujung mengagumkan: album terjual hingga 7500 kopi. Sebuah prestasi bukan main bagi ukuran album D.I.Y. Antusias dengan respons positif dari publik, mengeraskan keyakinan The Brandals untuk terus melanjutkan aksi gerilya menambah jam terbang dengan tampil di bermacam pagelaran, juga tour ke Jawa, Bali sampai Sumatera. Sampai saat sekarang, 2008, The Brandals masih jaya wijaya, marching menuju maut, terus bergerak maju menuju strata tertinggi Rock ‘n’ Roll Indonesia. Plus to keep it dirty, filthy, and nasty…